GRANDISMA – Namanya Haikal. Dari luar, dia tampak seperti anak laki-laki biasa — kalem, rajin beribadah, selalu menunduk ketika lewat di depan guru, dan dikenal pintar di hampir semua mata pelajaran.
Nilainya selalu sempurna, dan teman-temannya sering menjulukinya “ustaz genius.”
Tapi tidak ada yang tahu bahwa Haikal menyimpan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kecerdasan.
Sejak kecil, ia memiliki kekuatan cahaya — kekuatan misterius yang muncul setiap kali ia marah atau merasa terancam.
Tangannya bisa memancarkan sinar putih yang mampu menyembuhkan luka… atau membakar apa pun jika ia kehilangan kendali.
Karena itulah, Haikal belajar menahan emosi.
Ia berusaha hidup dalam ketenangan, menutupi semua yang ada dalam dirinya dengan doa dan kebaikan.
Ia takut kekuatan itu membuatnya dijauhi atau bahkan dianggap aneh.
Namun suatu sore, rahasianya hampir terbongkar.
Sekolah mereka tiba-tiba diguncang gempa kecil. Langit menggelap, suara kaca pecah di mana-mana.
Di tengah kepanikan, salah satu temannya, Lukman, terjatuh tertimpa balok kayu di ruang laboratorium. Semua orang menjerit panik.
“Haikal! Tolong! Lukman gak sadar!” teriak temannya.
Haikal menatap tubuh temannya yang tergeletak lemah.
Hatinya berdebar keras. Ia tahu ini saatnya, tapi jika ia bertindak, rahasianya akan terbuka.
Namun nurani di dalam dirinya berbisik lembut, jangan biarkan ketakutanmu menghentikan kebaikan.
Dengan langkah pelan, Haikal berlutut di sisi Lukman. Ia menempelkan tangannya di dada temannya itu.
Sinar putih keluar perlahan dari telapak tangannya, hangat dan lembut seperti mentari pagi.
Semua yang ada di ruangan itu terdiam, terpaku melihatnya.
Perlahan, luka Lukman menutup. Napasnya kembali normal.
“Ha… Haikal, barusan itu apa?” tanya salah satu temannya dengan suara gemetar.
Haikal berdiri, menatap mereka satu per satu.
“Aku masih sama seperti kalian,” katanya tenang. “Hanya saja… aku diberi sedikit kelebihan. Dan aku gak akan menyakiti siapa pun.”
Sinar itu padam, meninggalkan keheningan yang aneh, campuran antara kagum dan takut. Tapi tak ada yang berani bicara lagi.
Keesokan harinya, rumor tentang “anak yang bisa menyembuhkan dengan cahaya” menyebar di sekolah.
Namun bukannya dijauhi, banyak orang justru semakin menghormati Haikal. Ia tetap menjadi murid yang rajin, sopan, dan rendah hati.
Dan setiap malam, ketika berdiri di jendela kamarnya menatap bintang, Haikal selalu berdoa pelan:
“Selama dunia masih dipenuhi kegelapan, aku akan terus menyembunyikan cahayaku… sampai tiba saatnya dunia siap untuk melihatnya.”


